Rabu, 28 April 2010

Peluang dan Tantangan BULOG dalam Pengembangan Bisnis Komoditas Jagung

Indonesia sebagai suatu bangsa tidak dapat lepas dari pergaulan internasional karena kehidupan kita berbangsa tidak hanya terkait dengan kepentingan dalam negeri kita, tapi juga kepentingan luar negeri misalnya untuk kebutuhan perdagangan baik ekspor maupun impor. Atas dasar kesadaran itulah kita bergabung pada organisasi internasional seperti ASEAN dan PBB. Salah satu konsekuensi dari pergaulan internasional tersebut adalah disetujuinya bentuk liberalisasi perdagangan antara Negara ASEAN dan China atau yang dikenal juga dengan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). ACFTA bagi Negara kita tentu bukan hanya tantangan atau mungkin bagi sebagian kita menganggapnya masalah, karena kualitas produk kita masih kalah bersaing katakanlah dengan produk China, tapi juga merupakan peluang bagi kita jika kita mampu bersaing.

Tantangan dan peluang yang ditimbulkan oleh ACFTA tentu berlaku bagi semua lini kehidupan kita. Tidak terkecuali dalam pengembangan bisnis komoditas non-beras seperti gula, jagung, minyak goreng, kedelai, dan daging yang tidak lain merupakan kebutuhan pokok masyarakat kita. BULOG sebagai badan yang bertanggungjawab pada ketahanan pangan nasional pasti memiliki andil yang besar. Bila dibandingkan komoditas non-beras lainnya seperti gula, minyak goreng, kedelai, dan daging, jagung memiliki peluang paling besar untuk dikembangkan. Dalam upaya menjaga ketahanan pangan nasional, pemerintah telah mencanangkan jagung sebagai sumber karbohidrat kedua setelah beras. Karena kandungan karbohidrat berupa pati pada jagung sekitar 54,1-71,7%. Beberapa daerah di Indonesia seperti Gorontalo, Banten, Kalimantan Barat, dan Sumatera Barat juga mulai giat mengembangkan tanaman jagung. Budidaya jagung relatif mudah dan saat ini telah tersedia bibit unggul yang memiliki produktivitas yang lebih tinggi. Penggunaan jagung cukup luas, misalnya sebagai makanan tradisional (bubur jagung), pakan ternak, dan industri (pati, bioetanol, minyak jagung, gula jagung, dan pulp)

Beras sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia saat ini semakin sulit untuk dikembangkan walaupun telah ditunjang dengan berbagai riset tentang bibit unggul untuk meningkatkan produktivitas komoditas tersebut. Masalahnya memang tidak sesederhana itu. Pergeseran iklim sebagai akibat dari global warming dan seringnya terjadi bencana alam yang tidak dapat diprediksi sangat berpengaruh pada hasil produksi padi. Kebijakan pemerintah menaikkan harga pupuk dan sering terkendalanya distribusi pupuk sehingga petani harus mengurangi penggunaan pupuk dan mencari alternatif lain sebagai pengganti pupuk menyebabkan menurunnya hasil panen. Di beberapa daerah termasuk Kalimantan Timur yang belum memiliki aturan yang jelas tentang tata ruang wilayah menyebabkan beberapa lahan sawah dialihkan menjadi lahan perkebunan. Kendala-kendala di atas merupakan faktor-faktor yang menyebabkan terkendalanya upaya peningkatan produksi beras. Padahal beras saat ini masih merupakan makanan pokok masyarakat kita, sehingga pemerintah harus melakukan impor beras untuk memenuhi permintaan beras di dalam negeri. Kebijakan ini tentu tidak dapat terus dilaksanakan karena beberapa Negara ekportir beras sedang mewacanakan untuk tidak lagi atau mengurangi jumlah beras yang di ekspor, Negara-negara tersebut lebih memprioritaskan kebutuhan dalam negerinya sendiri.

Tidak seimbangnya laju pertumbuhan penduduk dan peningkatan produksi beras merupakan peluang bagi pengembangan tanaman jagung. Sebagaimana telah disebutkan di atas, karbohidrat jagung cukup tinggi sehingga dapat menjadi sumber karbohidrat pengganti beras. Selain dikonsumsi sebagai beras jagung, jagung juga dapat diolah menjadi emping jagung dan susu jagung.

Penggunaan jagung sebagai pakan ternak saat ini mencapai 50% dari bahan baku. Seiring meningkatnya konsumsi daging di Indonesia, permintaan akan jagung sebagai pakan ternak ini diperkirakan akan mencapai 60% pada tahun 2020. Pertumbuhan rata-rata per tahun konsumsi jagung untuk pakan sendiri sebesar 11,52%, namun pertumbuhan produksinya hanya sebesar 6,11%. Sehingga terdapat selisih yang besar antara kebutuhan dan produksi.

Jagung relatif mudah dibudidayakan karena dapat tumbuh dengan baik pada lahan kering. Hal ini tentu menjadi solusi untuk pemberdayaan lahan kering. Di luar jawa sendiri tedapat 20,5 juta ha lahan kering yang berpotensi ditanami jaguung Di Nusa Tenggara Barat, jagung ditanam secara tumpang gilir dengan tanaman kacang tanah dan kedelai. Hasil penelitian menunjukkan metode ini meningkatkan penghasilan petani hingga 3 juta rupiah per hektar dibandingkan tanpa menggunakan metode tumpang gilir ini, penghasilan petani hanya berkisar 900 ribu rupiah per hektar. Indonesia juga berpeluang menjadi pemasok jagung.

Isu lingkungan dewasa ini terkait upaya pengurangan emisi dan upaya menekan laju eksploitasi batu bara, mengingat cadangan bahan-bahan tambang seperti minyak bumi, gas, dan batubara semakin menipis dan tidak dapat diperbaharui, menyebabkan semakin meningkatnya permintaan akan jagung, karena jagung dapat diolah menjadi biofuel (bioetanol). Pada tahun 2003 saja, jumlah permintaan untuk jagung diseluruh dunia mencapai 64,7 juta MT, permintaan ini mengakibatkan stok jagung deficit 34,5 juta MT karena jumlah stok jagung hanya sebesar 612,5 juta MT. kekurangan stok ini, merupakan peluang bagi kita untuk menjadi pemasok jagung dunia.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi jagung nasional yakni dengan perluasan areal tanam dan peningkatan produktivitas. Perluasan areal misalnya dengan menanami lahan sawah irigasi, lahan sawah tadah hujan, dan lahan kering dengan jagung atau ditanam dengan metode tumpang gilir dengan tanaman lain seperti kedelai dan kacang tanah. Upaya peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan pengembangan jagung bibit unggul yang toleran pada kemasaman tanah dan kekeringan dan penggunaan metode tanam yang tepat misalnya dengan mengatur jarak tanam dan penggunaan pupuk yang sesuai. Selain itu, upaya pengembangan jagung juga memerlukan perbaikan kelembagaan petani, pengembangan teknologi pascapanen yang baik sehingga meningkatkan nilai tambah, perbaikan system permodalan, perbaikan akses pasar, pengembangan infrastruktur, serta pengaturan tataniaga dan insentif usaha.

Upaya pengembangan komoditas jagung ini tentunya juga mengalami beberapa tantangan. Misalnya menurunnya penyerapan varietas lokal oleh petani karena memiliki kemampuan genetik yang masih kalah dibandingkan bibit unggul yang telah dikembangkan. Padahal varietas lokal seperti jagung asli Madura memiliki kadar air yang relatif rendah sehingga memiliki masa simpan yang lebih lama. Selain itu jagung asli Madura juga memiliki rasa yang lebih manis dan tidak menghasilkan serbuk yang tidak terlalu banyak saat digiling. Di beberapa daerah, metode tanam yang kurang tepat yang digunakan oleh petani juga menyebabkan kurang optimalnya produksi jagung. Misalnya, petani masih belum menggunakan jarak tanam yang teratur dan kegiatan pemupukan belum didasarkan pada ketersediaan unsure hara dalam tanah dan kebutuhan tanaman melainkan berdasarkan kemampuan keuangan masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar